Teks terus berputar ke kanan dengan kecepatan lambat

Minggu, 28 Desember 2014

Tapis ( kain tenun khas lampung )


Kain Tapis merupakan salah satu jenis kerajinan tradisional masyarakat Lampung dalam menyelaraskan kehidupannya baik terhadap lingkungannya maupun Sang Pencipta Alam Semesta. Karena itu munculnya kain Tapis ini ditempuh melalui tahap-tahap waktu yang mengarah kepada kesempurnaan teknik tenunnya, maupun cara-cara memberikan ragam hias yang sesuai dengan perkembangan kebudayaan masyarakat. Menurut Van der Hoop disebutkan bahwa orang lampung telah menenun kain Brokat yang disebut Nampan (Tampan) dan kain Pelepai sejak abad II masehi. Motif kain ini ialah kait dan konci (Key and Rhomboid shape), pohon hayat dan bangunan yang berisikan roh manusia yang telah meninggal. Juga terdapat motif binatang, matahari, bulan serta bunga melati. Dikenal juga tenun kain tapis yang bertingkat, disulam dengan benang sutera putih yang disebut Kain Tapis Inuh. Hiasan-hiasan yang terdapat pada kain tenun Lampung juga memiliki unsur-unsur yang sama dengan ragam hias di daerah lain. Hal ini terlihat dari unsur-unsur pengaruh taradisi Neolithikum yang memang banyak ditemukan di Indonesia. Masuknya agama Islam di Lampung, ternyata juga memperkaya perkembangan kerajinan tapis ini. Walaupun unsur baru tersebut telah berpengaruh, unsur lama tetap dipertahankan. Adanya komunikasi dan lalu lintas antar kepulauan Indonesia sangat memungkinkan penduduknya mengembangkan suatu jaringan maritim. Dunia kemaritiman atau disebut dengan jaman bahari sudah mulai berkembang sejak jaman kerajaan Hindu Indonesia dan mencapai kejayaan pada masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan islam antara tahun 1500 1700.
Bermula dari latar belakang sejarah ini, imajinasi dan kreasi seniman pencipta jelas mempengaruhi hasil ciptaan yang mengambil ide-ide pada kehidupan sehari-hari yang berlangsung disekitar lingkungan seniman dimana ia tinggal. Penggunaan transportasi pelayaran saat itu dan alam lingkungan laut telah memberi ide penggunaan motif hias pada kain kapal. Ragam motif kapal pada kain kapal menunjukkan adanya keragaman bentuk dan konstruksi kapal yang digunakan. Dalam perkembangannya, ternyata tidak semua suku Lampung menggunakan Tapis sebagai sarana perlengkapan hidup. Diketahui suku Lampung yang umum memproduksi dan mengembangkan tenun Tapis adalah suku Lampung yang beradat Pepadun.

Suku bangsa Lampung

Masyarakat Lampung asli memiliki struktur adat yang tersendiri. Bentuk masyarakat hukum adat tersebut berbeda antara kelompok masyarakat satu dengan yang lainnya. Secara umum dapat dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu masyarakat adat Saibatin dan masyarakat adat Pepadun
Suku bangsa Lampung yang beradat Saibatin (Pesisir) terdiri dari :
  • Kepaksian Sekala Brak
  • Keratuan Melinting
  • Keratuan Balau
  • Keratuan Darah Putih
  • Keratuan Semaka
  • Keratuan Komering
  • Cikoneng Pak Pekon
Suku bangsa Lampung yang beradat Pepadun (Pedalaman) dapat digolongkan menjadi :
  • Abung Siwo Mego (Abung Sembilan Marga)
  • Mego Pak Tulang Bawang (Tulang Bawang Empat Marga)
  • Pubian Telu Suku (Pubian Tiga Suku)
  • Buay Lima Way Kanan (Way Kanan Lima Kebuayan)
  • Sungkay Bunga Mayang
Berdasarkan pembagian penduduk yang serba mendua ini maka Lampung dikenal sebagai Propinsi Sang Bumi Ruwa Jurai yang dapat diartikan "Bumi Yang Dua Dalam Kesatuan."
Di daerah Lampung dikenal berbagai peralatan dan perlengkapan adat yang melambangkan status seseorang yang ditandai dengan pemilikan sebuah kain adat yaitu Kain Tapis Lampung.

Pengertian tapis Lampung



Kain tapis untuk pria, berwarna merah-hitam
Kain tapis adalah pakaian wanita suku Lampung yang berbentuk kain sarung terbuat dari tenun benang kapas dengan motif atau hiasan bahan sugi, benang perak atau benang emas dengan sistem sulam (Lampung; "Cucuk").
Dengan demikian yang dimaksud dengan Tapis Lampung adalah hasil tenun benang kapas dengan motif, benang perak atau benang emas dan menjadi pakaian khas suku Lampung. Jenis tenun ini biasanya digunakan pada bagian pinggang ke bawah berbentuk sarung yang terbuat dari benang kapas dengan motif seperti motif alam, flora dan fauna yang disulam dengan benang emas dan benang perak.
Tapis Lampung termasuk kerajian tradisional karena peralatan yang digunakan dalam membuat kain dasar dan motif-motif hiasnya masih sederhana dan dikerjakan oleh pengerajin. Kerajinan ini dibuat oleh wanita, baik ibu rumah tangga maupun gadis-gadis (muli-muli) yang pada mulanya untuk mengisi waktu senggang dengan tujuan untuk memenuhi tuntutan adat istiadat yang dianggap sakral. Kain Tapis saat ini diproduksi oleh pengrajin dengan ragam hias yang bermacam-macam sebagai barang komoditi yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi.

Sejarah kain tapis Lampung

Kain tapis merupakan salah satu jenis kerajinan tradisional masyarakat Lampung dalam menyelaraskan kehidupannya baik terhadap lingkungannya maupun Sang Pencipta Alam Semesta. Karena itu munculnya kain Tapis ini ditempuh melalui tahap-tahap waktu yang mengarah kepada kesempurnaan teknik tenunnya, maupun cara-cara memberikan ragam hias yang sesuai dengan perkembangan kebudayaan masyarakat.
Menurut Van der Hoop disebutkan bahwa orang Lampung telah menenun kain brokat yang disebut nampan (tampan) dan kain pelepai sejak abad ke-2 Sebelum Masehi. Motif kain ini ialah kait dan kunci (key and rhomboid shape), pohon hayat, dan bangunan yang berisikan roh manusia yang telah meninggal. Juga terdapat motif binatang, matahari, bulan serta bunga melati. Dikenal juga tenun kain tapis yang bertingkat, disulam dengan benang sutera putih yang disebut Kain Tapis Inuh.
Hiasan-hiasan yang terdapat pada kain tenun Lampung juga memiliki unsur-unsur yang sama dengan ragam hias di daerah lain. Hal ini terlihat dari unsur-unsur pengaruh taradisi Neolitikum yang memang banyak ditemukan di Indonesia.
Masuknya agama Islam di Lampung, ternyata juga memperkaya perkembangan kerajinan tapis. Walaupun unsur baru tersebut telah berpengaruh, unsur lama tetap dipertahankan.
Adanya komunikasi dan lalu lintas antar kepulauan Indonesia sangat memungkinkan penduduknya mengembangkan suatu jaringan maritim. Dunia kemaritiman atau disebut dengan zaman bahari sudah mulai berkembang sejak zaman kerajaan Hindu Indonesia dan mencapai kejayaan pada masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan islam antara tahun 1500 - 1700 .

Sejarah tapis juga didapat dari Muhammad Ridho Pratama Putra (Dido Zulkarnaein). Muhammad Ridho Pratama Putra, berpendapat bahwa:
Sejarah Tapis Sejak Masa Pra-Sejarah
Sejarah mencatat bahwa masyarakat Lampung telah mengenal tenun Pelepai dan Nampan sejak abad ke-2 SM. (menurut Van der Hoop = sejarawan asal Belanda).
Sejarah juga mencatat bahwa Tapis Lampung telah disebutkan dalam prasasti Raja Balitung (Abad ke-9 M.) sebagai barang yang dihadiahkan. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa Tapis sejak zaman dahulu merupakan barang mahal, karena pada dasarnya barang yang dihadiahkan adalah barang yg memiliki nilai-nilai tertentu. Bersamaan pada abad tersebut kain songket telah berkembang di lingkungan Kerajaan Sriwijaya, dimana kain songket telah ada sejak zaman Kerajaan Malayu (Abad ke-5 M).
Penggunaan benang emas dalam budaya tenun Indonesia merupakan hasil kontak dagang dengan bangsa China sebagai penemu benang emas sejak Masa Sebelum Masehi.
Sejarah mencatat pula, bahwa Bangsa Lampung telah melakukan kontak dagang dengan Bangsa China sejak Abad ke-5 M, ketika Kerajaan P'o-Huang (dapat dieja "Bawang" yang berarti Rawa dalam Bahasa Lampung) mengirimkan utusannya ke Negeri China pada Tahun 449 M. dengan membawa Upeti dan 41 jenis barang dari P'o-Huang yang diperdagangkan ke China (kitab Liu Sung Shu, 420-479 M.). Bahkan berdasarkan temuan keramik China masa Dinasti Han (203-220 M), mengindikasikan bahwa perdagangan antara Bangsa Lampung Kuno dengan China telah berlangsung sejak awal Abad Ke-3 M.
Penggunaan benang emas dan kapas dalam tradisi tenun Lampung merupakan kelanjutan dari teradisi menenun sejak jaman Perunggu atau Perundagian (antara 3000 - 1500 SM). Ini dapat dilihat dari ragam motif pada kain-kain tapis kuno, kain inuh dan kain bidak yang bergaya Neolitikum, seperti: pucuk rebung, meander, manusia, pohon hayat, sulur, binatang dll. Yang juga terdapat pada nekara dan bejana perunggu, serta pecahan-pecahan gerabah Neolitikum.
Sebelum mengenal kapas dari bangsa China dan India, masyarakat Lampung seperti juga masyarakat purba lainnya di dunia telah memanfaatkan kulit kayu (kulit kayu halim dan tangkil), serat pisang, serat pandan, dll. untuk dipintal menjadi benang sebagai bahan dasar kain tenun.
Untuk masyarakat Lampung, penggunaan benang emas, benang perak dan kaca merupakan kelanjutan dari tradisi prasejarah, dimana pada masa itu masyarakat Lampung purba menghiasi kain tenun mereka dengan menempelkan atau menyulam benda-benda yang dianggap berharga atau memilki kekuatan magis seperti manik-manik, kulit kerang, kepingan logam (perunggu), maupun sulaman benang / serat-serat berwarna terang, hal ini mungkin berkaitan dengan status sosial masyarakat pada masa itu, dimana semakin semarak ragam hias pakaian atau kain tenun tersebut, maka semakin tinggi pula status sosialnya. Sisa-sisa tradisi ini masih dapat kita temui dalam kain tapis kuno, kain inuh, kain bidak, maupun pada tradisi manik-manik Lampung seperti pada lakkai (wadah seserahan, terbuat dari anyaman bambu atau rotan) dan peleppai manik-manik maupun pada benda-benda peniggalan budaya lainnya.
Setelah kontak dagang dengan Bangsa China dan India terjadi, maka mulailah mereka mengenal penggunaan kapas dan menghiasinya dengan barang-barang impor seperti benang emas, benang perak, benang sutera alam, dan kaca. Dan banyak mengalami perkembangan motif seiring dengan perubahan zaman sampai masuknya pengaruh Islam yang sangat besar, dan semakin menambah kekayaan ragam hias dan jenis dari kain tapis Lampung itu sendiri.

Namun kini, dari dua ratusan motif dan jenis kain tapis yang dahulu pernah ada, saat ini tidak lebih dari tiga puluh motif dan jenis saja yang masih dikenal dan diproduksi, bahkan diantaranya kini terancam hilang dan nyaris punah. Hal ini dikarenakan rumitnya pengerjaan dan lamanya waktu proses pembuatan yang dibutuhkan untuk memproduksi satu jenis kain. Mengingat jenis kain ini tidak bisa diproduksi dengan mesin.
Selain dari kurangnya kepedulian masyarakat pada keberadaan tapis-tapis kuno, juga akibat dari perburuan besar-besaran terhadap kain-kain langka tersebut oleh orang-orang asing.
Catatan: 1. Umumnya kerajaan-kerajaan yang dicatat oleh bangsa China dalam kitab sejarahnya adalah kerajaan-kerajaan besar.
2. Kain peleppai disebut juga kain kapal karena motif utamanya berupa kapal arwah, yang berisikan arwah leluhur (kepercayaan jaman batu), namun baru pada zaman Islam kapal itu dianggap kapal atau bahtera Nabi Nuh, karena dalam Islam tidak mengenal istilah kapal arwah.

Jenis tapis Lampung menurut asal pemakainya

Beberapa jenis kain tapis yang umum digunakan masyarakat Lampung Pepadun dan Lampung Saibatin adalah :

Tapis Lampung dari Pesisir

  • Tapis Inuh
  • Tapis Cucuk Andak
  • Tapis Semaka
  • Tapis Kuning
  • Tapis Cukkil
  • Tapis Jinggu

Tapis lampung dari Pubian Telu Suku

  • Tapis Jung Sarat
  • Tapis Balak
  • Tapis Laut Linau
  • Tapis Raja Medal
  • Tapis Pucuk Rebung
  • Tapis Cucuk Handak
  • Tapis Tuho
  • Tapis Sasap
  • Tapis Lawok Silung
  • Tapis Lawok Handak

Tapis Lampung dari Sungkai Way Kanan

  • Tapis Jung Sarat
  • Tapis Balak
  • Tapis Pucuk Rebung
  • Tapis Halom/Gabo
  • Tapis Kaca
  • Tapis Kuning
  • Tapis Lawok Halom
  • Tapis Tuha
  • Tapis Raja Medal
  • Tapis Lawok Silung

Tapis Lampung dari Tulang Bawang Mego Pak

  • Tapis Dewosano
  • Tapis Limar Sekebar
  • Tapis Ratu Tulang Bawang
  • Tapis Bintang Perak
  • Tapis Limar Tunggal
  • Tapis Sasab
  • Tapis Kilap Turki
  • Tapis Jung Sarat
  • Tapis Kaco Mato di Lem
  • Tapis Kibang
  • Tapis Cukkil
  • Tapis Cucuk Sutero

Tapis Lampung dari Abung Siwo Mego

  • Tapis Rajo Tunggal
  • Tapis Lawet Andak
  • Tapis Lawet Silung
  • Tapis Lawet Linau
  • Tapis Jung Sarat
  • Tapis Raja Medal
  • Tapis Nyelem di Laut Timbul di Gunung
  • Tapis Cucuk Andak
  • Tapis Balak
  • Tapis Pucuk Rebung
  • Tapis Cucuk Semako
  • Tapis Tuho
  • Tapis Cucuk Agheng
  • Tapis Gajah Mekhem
  • Tapis Sasap
  • Tapis Kuning
  • Tapis Kaco
  • Tapis Serdadu Baris

Jenis Tapis Lampung menurut pemakai

Tapis Jung Sarat
Dipakai oleh pengantin wanita pada upacara perkawinan adat. Dapat juga dipakai oleh kelompok isteri kerabat yang lebih tua yang menghadiri upacara mengambil gelar, pengantin serta muli cangget (gadis penari) pada upacara adat. Tapis Raja Tunggal
Dipakai oleh isteri kerabat paling tua (tuho penyimbang) pada upacara perkawinan adat, pengambilan gelar pangeran dan sutan.
Di daerah Abung Lampung Utara dipakai oleh gadis-gadis dalam menghadiri upacara adat.
Tapis Raja Medal
Dipakai oleh kelompok isteri kerabat paling tua (tuho penyimbang) pada upacara adat seperti : mengawinkan anak, pengambilan gelar pangeran dan sutan.
Di daerah Abung Lampung Utara tapis ini digunakan oleh pengantin wanita pada upacara perkawinan adat.
Tapis Laut Andak
Dipakai oleh muli cangget (gadis penari) pada acara adat cangget. Dipakai juga oleh Anak Benulung (isteri adik) sebagai pengiring pada upacara pengambilan gelar sutan serta dipakai juga oleh menantu perempuan pada acara pengambilan gelar sutan.
Tapis Balak
Dipakai oleh kelompok adik perempuan dan kelompok isteri anak seorang yang sedang mengambil gelar pangeran pada upacara pengambilan gelar atau pada upacara mengawinkan anak. Tapis ini dapat juga dipakai oleh muli cangget (gadis penari) pada upacara adat.
Tapis Silung
Dipakai oleh kelompok orang tua yang tergolong kerabat dekat pada upacara adat seperti mengawinkan anak, pengambilan gelar, khitanan dan lain-lain. Dapat juga dipakai pada saat pengarakan pengantin.
Tapis Laut Linau
Dipakai oleh kerabat isteri yang tergolong kerabat jauh dalam menghadiri upacara adat. Dipakai juga oleh para gadis pengiring pengantin pada upacara turun mandi pengantin dan mengambil gelar pangeran serta dikenakan pula oleh gadis penari (muli cangget). Tapis Pucuk Rebung
Tapis ini dipakai oleh kelompok ibu-ibu/para isteri untuk menghadiri upacara adat.
Di daerah Menggala tapis ini disebut juga tapis balak, dipakai oleh wanita pada saat menghadiri upacara adat.
Tapis Cucuk Andak
Dipakai oleh kelompok isteri keluarga penyimbang (kepala adat/suku) yang sudah bergelar sutan dalam menghadiri upacara perkawinan, pengambilan gelar adat.
Di daerah Lampung Utara tapis ini dipakai oleh pengantin wanita dalam upacara perkawinan adat.
Di daerah Abung Lampung Utara tapis ini dipakai oleh ibu-ibu pengiring pengantin pada upacara adat perkawinan. Tapis Limar Sekebar
Tapis ini dipakai oleh kelompok isteri dalam menghadiri pesta adat serta dipakai juga oleh gadis pengiring pengantin dalam upacara adat.
Tapis Cucuk Pinggir
Dipakai oleh kelompok isteri dalam menghadiri pesta adat dan dipakai juga oleh gadis pengiring pengantin pada upacara perkawinan adat.
Tapis Tuho
Tapis ini dipakai oleh seorang isteri yang suaminya sedang mengambil gelar sutan. Dipakai juga oleh kelompok orang tua (mepahao) yang sedang mengambil gelar sutan serta dipakai pula oleh isteri sutan dalam menghadiri upacara pengambilan gelar kerabatnya yang dekat.
Tapis Agheng/Areng
Dipakai oleh kelompok isteri yang sudah mendapat gelar sutan (suaminya) pada upacara pengarakan naik pepadun/pengambilan gelar dan dipakai pula oleh pengantin sebagai pakaian sehari-hari. Tapis Inuh
Kain tapis ini umumnya dipakai pada saat menghadiri upacara-upacara adat. Tapis ini berasal dari daerah Krui, Lampung Barat.
Tapis Dewosano
Di daerah Menggala dan Kota Bumi, kain tapis ini dipakai oleh pengantin wanita pada saat menghadiri upacara adat.
Tapis Kaca
Tapis ini dipakai oleh wanita-wanita dalam menghadiri upacara adat. Bisa juga dipakai oleh wanita pengiring pengantin pada upacara adat. Tapis ini di daerah Pardasuka Lampung Selatan dipakai oleh laki-laki pada saat upacara adat.
Tapis Bintang
Tapis Bintang ini dipakai oleh pengantin wanita pada saat upacara adat.
Tapis Bidak Cukkil
Model kain Tapis ini dipakai oleh laki-laki pada saat menghadiri upacara-upacara adat.
Tapis Bintang Perak
Tapis ini dapat dipakai pada upacara-upacara adat dan berasal dari daerah Menggala, Lampung Utara.

Bahan dan peralatan tenun tapis

Bahan dasar

Kain tapis Lampung yang merupakan kerajinan tenun tradisional masyarakat Lampung ini dibuat dari benang katun dan benang emas. Benang katun adalah benang yang berasal dari bahan kapas dan digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan kain tapis, sedangkan benang emas dipakai untuk membuat ragam hias pada tapis dengan sistem sulam.
Pada tahun 1950, para pengrajin tapis masih menggunakan bahan hasil pengolahan sendiri, khususnya untuk bahan tenun. Proses pengolahannya menggunakan sistem ikat, sedangkan penggunaan benang emas telah dikenal sejak lama.
Bahan-bahan baku itu antara lain :
  • Khambak/kapas digunakan untuk membuat benang.
  • Kepompong ulat sutera untuk membuat benang sutera.
  • Pantis/lilin sarang lebah untuk meregangkan benang.
  • Akar serai wangi untuk pengawet benang.
  • Daun sirih untuk membuat warna kain tidak luntur.
  • Buah pinang muda, daun pacar, kulit kayu kejal untuk pewarna merah.
  • Kulit kayu salam, kulit kayu rambutan untuk pewarna hitam.
  • Kulit kayu mahoni atau kalit kayu durian untuk pewarna coklat.
  • Buah deduku atau daun talom untuk pewarna biru.
  • Kunyit dan kapur sirih untuk pewarna kuning.
Pada saat ini bahan-bahan tersebut di atas sudah jarang digunakan lagi, oleh karena pengganti bahan-bahan di atas tersebut sudah banyak diperdagangkan di pasaran.

Peralatan tenun kain tapis

Proses pembuatan tenun kain tapis menggunakn peralatan-peralatan sebagai berikut :
  • Sesang yaitu alat untuk menyusun benang sebelum dipasang pada alat tenun.
  • Mattakh yaitu alat untuk menenun kain tapis yang terdiri dari bagian alat-alat :
  • Terikan (alat menggulung benang)
  • Cacap (alat untuk meletakkan alat-alat mettakh)
  • Belida (alat untuk merapatkan benang)
  • Kusuran (alat untuk menyusun benang dan memisahkan benang)
  • Apik (alat untuk menahan rentangan benang dan menggulung hasil tenunan)
  • Guyun (alat untuk mengatur benang)
  • Ijan atau Peneken (tunjangan kaki penenun)
  • Sekeli (alat untuk tempat gulungan benang pakan, yaitu benang yang dimasukkan melintang)
  • Terupong/Teropong (alat untuk memasukkan benang pakan ke tenunan)
  • Amben (alat penahan punggung penenun)
  • Tekang yaitu alat untuk merentangkan kain pada saat menyulam benang emas.
Sejarah Kain Tapis Lampung
 
http://lili.staff.uns.ac.id/files/2009/06/tapislampung21.jpg

Kain Tapis merupakan salah satu jenis kerajinan tradisional masyarakat Lampung dalam menyelaraskan kehidupannya baik terhadap lingkungannya maupun Sang Pencipta Alam Semesta. Karena itu munculnya kain Tapis ini ditempuh melalui tahap-tahap waktu yang mengarah kepada kesempurnaan teknik tenunnya, maupun cara-cara memberikan ragam hias yang sesuai dengan perkembangan kebudayaan masyarakat. Menurut Van der Hoop disebutkan bahwa orang lampung telah menenun kain Brokat yang disebut Nampan (Tampan) dan kain Pelepai sejak abad II masehi. Motif kain ini ialah kait dan konci (Key and Rhomboid shape), pohon hayat dan bangunan yang berisikan roh manusia yang telah meninggal. Juga terdapat motif binatang, matahari, bulan serta bunga melati. Dikenal juga tenun kain tapis yang bertingkat, disulam dengan benang sutera putih yang disebut Kain Tapis Inuh. Hiasan-hiasan yang terdapat pada kain tenun Lampung juga memiliki unsur-unsur yang sama dengan ragam hias di daerah lain. Hal ini terlihat dari unsur-unsur pengaruh taradisi Neolithikum yang memang banyak ditemukan di Indonesia. Masuknya agama Islam di Lampung, ternyata juga memperkaya perkembangan kerajinan tapis ini. Walaupun unsur baru tersebut telah berpengaruh, unsur lama tetap dipertahankan. Adanya komunikasi dan lalu lintas antar kepulauan Indonesia sangat memungkinkan penduduknya mengembangkan suatu jaringan maritim. Dunia kemaritiman atau disebut dengan jaman bahari sudah mulai berkembang sejak jaman kerajaan Hindu Indonesia dan mencapai kejayaan pada masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan islam antara tahun 1500 1700.
Bermula dari latar belakang sejarah ini, imajinasi dan kreasi seniman pencipta jelas mempengaruhi hasil ciptaan yang mengambil ide-ide pada kehidupan sehari-hari yang berlangsung disekitar lingkungan seniman dimana ia tinggal. Penggunaan transportasi pelayaran saat itu dan alam lingkungan laut telah memberi ide penggunaan motif hias pada kain kapal. Ragam motif kapal pada kain kapal menunjukkan adanya keragaman bentuk dan konstruksi kapal yang digunakan. Dalam perkembangannya, ternyata tidak semua suku Lampung menggunakan Tapis sebagai sarana perlengkapan hidup. Diketahui suku Lampung yang umum memproduksi dan mengembangkan tenun Tapis adalah suku Lampung yang beradat Pepadun.



Perkembangan 


Perjalanan sejarah perkembangan terbentuknya ragam hias, kain tapis Lampung mendapat berbagai pengaruh kebudayan lain, seiring dengan terjalinnya kontak, interaksi, dan komunikasi masyarakat adat Lampung dengan kebudayaan luar. Kebudayaan yang memberikan pengaruh pada pembentukan gaya seni hias kain tapis antara lain, kebudayan Dongson dari daratan Asia, Hindu-Budha, Islam, dan Eropa.
Melalui proses yang panjang, akulturasi terjadi antara unsur-unsur hias kebudayaan asing dengan unsur-unsur hias lama. Unsur-unsur asing yang datang tidak menghilangkan unsur-unsur lama, akan tetapi semakin memperkaya corak, ragam, dan gaya yang sudah ada. Berbagai kebudayaan tersebut terpadu dan terintegrasi dalam satu konsep utuh yang tidak dapat dipisahkan dan melahirkan corak baru yang unik dan khas.
Nilai estetis kain tapis menyatu dalam beberapa azas dan ketentuan, yaitu (1) azas kesatuan organis, (2) azas tema atau konsep, (3) azas keseimbangan, (4) azas bertingkat, (5) azas kerumitan, dan (6) azas kesungguhan.
Kain tapis bagi masyarakat adat Lampung memiliki makna simbolis sebagai lambang kesucian yang dapat melindungi pemakainya dari segala kotoran dari luar. Selain itu dalam pemakaiannya kain tapis juga melambangkan status sosial pemakainya. Makna simbolis kain tapis terdapat pada kesatuan utuh bentuk motif yang diterapkan, serta bidang warna kain dasar sebagai wujud kepercayaan yang melambangkan kebesaran Pencipta Alam. Kain tapis merupakan pakaian resmi masyarakat adat Lampung dalam berbagai upacara adat dan keagamaan, dan merupakan perangkat adat yang serupa pusaka keluarga.
Terkait dengan pemerintahan adat, masyarakat Lampung yang beradat Pepadun memakai sistem kepunyimbangan berdasarkan garis keturunan laki-laki (matrilineal). Pada masyarakat Lampung Pepadun tingkatan punyimbang ada tiga, yaitu: (1) punyimbang marga atau paksi yang membawahi tiyuh (kampung), (2) punyimbang tiyuh yang membawahi beberapa suku atau bilik, dan (3) punyimbang suku yang membawahi beberapa nuwow balak (rumah adat). Susunan masyarakat yang bertingkat-tingkat mengkondisikan adanya aturan yang mengatur pemakaian kain tapis sebagai busana adat yang menyesuaikan status sosialnya dalam  masyarakat. Aturan yang berlaku tersebut juga disertai hukuman atau sanksi adat (cepalo) bagi anggota masyarakat yang melanggarnya.
Dalam rentang perjalanannya, kain tapis tidak hanya menunjukkan suatu proses kontinum kelangsungannya, tetapi juga menampakkan terjadinya perubahan dan pengembangan dalam banyak aspek, seperti pada aspek fungsinya kain tapis berubah dari benda sacral yang terkait erat dengan adat dan kepercayaan masyarakat Lampung berubah menjadi benda profan dan sekuler yang berfungsi untuk komoditi pasar. Pada aspek produknya kain tapis tidak hanya berupa kain sarung adat, tetapi sudah mengalami modivikasi dan diversivikasi sehingga tercipta berbagai produk seni kerajinan kain tapis seperti, busana pesta, busana muslim, hiasan dinding, kaligrafi, partisi ruangan, perlengkapan kamar tidur, tas, dompet, kopiah, tempat tisu, dan sebagainya.
Pada aspek bentuk motif yang diterapkan tidak terjadi perubahan frontal, secara umum bentuk motifnya masih sama hanya terjadi perubahan seiring perubahan bentuk produk yang disertai pengembangan, modivikasi, variasi, penyederhanaan, dan sedikit penambahan. Perubahan signifikan terjadi pada penghilangan makna simbolis-filosofis yang terkandung di dalamnya. Motif kain tapis sekarang hanya dilihat dari aspek keindahannya semata.
Perubahan yang terjadi pada kain tapis Lampung terjadi seiring dengan perubahan masyarakat pendukungnya, seperti adanya interpretasi dan persepsi masyarakat Lampung terhadap kain tapis, keterbukaan masyarakat lampung terhadap berbagai inovasi, ide-ide, dan kreasi baru yang tercermin pada sifat dan watak nemui nyimah, dan nengah nyappur. Kecintaan, keinginan, dan sikap progresif para perajin kain tapis yang didukung bakat seni dan keterampilan teknik yang diturunkan generasi sebelumnya untuk melestarikan, mempertahankan, dan mengembangkan seni kerajinan kain tapis.
Faktor eksternal yang mendorong terjadinya perubahan seni kerajinan kain tapis Lampung, selain berkembangnya dunia pariwisata daerah Lampung adalah adanya lembaga atau institusi pemerintah maupun swasta di Lampung yang berusaha mengembangkan seni kerajinan kain tapis dengan melakukan berbagai usaha, seperti program pelatihan, penyuluhan, dan pembinaan untuk dapat meningkatkan kemampuan teknis, jiwa kewirausahaan, maupun manajemen usaha para perajin kain tapis. Pemerintah juga telah mengambil kebijakan penting dengan menciptakan lingkungan usaha yang kondusif dan memberikan kemudahan dalam bidang produksi, permodalan, distribusi, dan pemasaran.
Pembubaran lembaga adat Lampung (kepunyimbangan) oleh pemerintah juga ikut mendorong perubahan yang terjadi pada kain tapis. Dengan berubahnya struktur pemerintahan, maka lembaga dan organisasi sosial dalam masyarakat adat tidak lagi memiliki legitimasi. Lembaga adat (kepunyimbangan) yang berfungsi sebagai pagar sekaligus kontrol dalam rangka melindungi stabilitas atau equilibrium masyarakat tidak berfungsi lagi sebagaimana mestinya. Namun akan lebih baik seandainya keputusan pemerintah tentang penghapusan lembaga adat ditinjau kembali, karena adanya lembaga tersebut akan semakin memperkokoh eksistensi kain tapis Lampung.

Suku Lampung


Suku Lampung adalah suku yang menempati seluruh provinsi Lampung dan sebagian provinsi Sumatera Selatan bagian selatan dan tengah yang menempati daerah Martapura, Muaradua di Komering Ulu, Kayu Agung, Tanjung Raja di Komering Ilir serta Cikoneng di pantai barat Banten
Asal-usul ulun Lampung (orang Lampung atau suku Lampung) erat kaitannya dengan istilah Lampung sendiri, walaupun nama Lampung itu dipakai mungkin sekali baru dipakai lebih kemudian daripada mereka memasuki daerah Lampung.

Beberapa pendapat asal-usul ulun Lampung

Catatan musafir Tiongkok yang pernah mengunjungi Indonesia pada abad VII, yaitu I Tsing, yang diperkuat oleh teori yang dikemukan Hilman Hadikusuma, disebutkan bahwa Lampung itu berasal dari kata To-lang-po-hwang. To berarti orang dalam bahasa Toraja, sedangkan Lang-po-hwang kepanjangan dari Lampung. Jadi, To-lang-po-hwang berarti orang Lampung.
Dr. R. Boesma dalam bukunya, De Lampungsche Districten (1916) menyebutkan, Tuhan menurunkan orang pertama di bumi bernama Sang Dewa Sanembahan dan Widodari Simuhun. Mereka inilah yang menurunkan Si Jawa (Ratu Majapahit), Si Pasundayang (Ratu Pajajaran), dan Si Lampung (Ratu Balau). Dari kata inilah nama Lampung berasal.
Legenda daerah Tapanuli menyeritakan, zaman dahulu meletus gunung berapi yang menimbulkan Danau Toba. Ketika gunung itu meletus, ada empat orang bersaudara berusaha menyelamatkan diri. Salah satu dari empat saudara itu bernama Ompung Silamponga, terdampar di Krui, Lampung Barat. Ompung Silamponga kemudian naik ke dataran tinggi Belalau atau Sekala Brak. Dari atas bukit itu, terhampar pemandangan luas dan menawan hati seperti daerah yang terapung. Dengan perasaan kagum, lalu Ompung Silamponga meneriakkan kata, “Lappung” (berasal dari bahasa Tapanuli kuno yang berarti terapung atau luas). Dari kata inilah timbul nama Lampung. Ada juga yang berpendapat nama Lampung berasal dari nama Ompung Silamponga itu.
Penelitian siswa Sekolah Thawalib Padang Panjang pada tahun 1938 tentang asal-usul ulun Lampung. Dalam cerita Cindur Mato yang berhubungan juga dengan cerita rakyat di Lampung disebutkan bahwa suatu ketika Pagaruyung diserang musuh dari India. Penduduk mengalami kekalahan karena musuh telah menggunakan senjata dari besi. Sedangkan rakyat masih menggunakan alat dari nibung (ruyung). Kemudian mereka melarikan diri. Ada yang malalui Sungai Rokan, sebagian melalui dan terdampar di hulu Sungai Ketaun di Bengkulu lalu menurunkan Suku Rejang. Yang lari ke utara menurunkan Suku Batak. Yang terdampar di Gowa, Sulawesi Selatan menurunkan Suku Bugis. Sedangkan yang terdampai di Krui, lalu menyebar di dataran tinggi Sekala Brak, Lampung Barat. Mereka inilah yang menurunkan Suku Lampung.
Teori Hilman Hadikusuma yang mengutip cerita rakyat. Ulun Lampung berasal dari Sekala Brak, di kaki Gunung Pesagi, Lampung Barat. Penduduknya disebut Tumi (Buay Tumi) yang dipimpin oleh seorang wanita bernama Ratu Sekarmong. Mereka menganut kepercayaan dinamis, yang dipengaruhi ajaran Hindu Bairawa.
Buai Tumi kemudian kemudian dapat dipengaruhi empat orang pembawa Islam berasal dari Pagaruyung, Sumatera Barat yang datang ke sana. Mereka adalah Umpu Nyerupa, Umpu Lapah di Way, Umpu Pernong, dan Umpu Belunguh. Keempat umpu inilah yang merupakan cikal bakal Paksi Pak sebagaimana diungkap naskah kuno Kuntara Raja Niti. Namun dalam versi buku Kuntara Raja Niti, nama poyang itu adalah Inder Gajah, Pak Lang, Sikin, Belunguh, dan Indarwati. Berdasarkan Kuntara Raja Niti, Hilman Hadikusuma menyusun hipotesis keturunan ulun Lampung sebagai berikut:

Inder Gajah
Gelar: Umpu Lapah di Way
Kedudukan: Puncak
Keturunan: Orang Abung

Pak Lang
Gelar: Umpu Pernong
Kedudukan: Hanibung
Keturunan: Orang Pubian

Sikin
Gelar: Umpu Nyerupa
Kedudukan: Sukau
Keturunan: Jelma Daya

Belunguh
Gelar: Umpu Belunguh
Kedudukan: Kenali
Keturunan: Peminggir

Indarwati
Gelar: Puteri Bulan
Kedudukan: Ganggiring
Keturunan: Tulangbawang

Adat-istiadat

Pada dasarnya jurai Ulun Lampung adalah berasal dari Sekala Brak, namun dalam perkembangannya, secara umum masyarakat adat Lampung terbagi dua yaitu masyarakat adat Lampung Saibatin dan masyarakat adat Lampung Pepadun. Masyarakat Adat Saibatin kental dengan nilai aristokrasinya, sedangkan Masyarakat adat Pepadun yang baru berkembang belakangan kemudian setelah seba yang dilakukan oleh orang abung ke banten lebih berkembang dengan nilai nilai demokrasinya yang berbeda dengan nilai nilai Aristokrasi yang masih dipegang teguh oleh Masyarakat Adat Saibatin.
Masyarakat adat Lampung Saibatin

Masyarakat Adat Lampung Saibatin mendiami wilayah adat: Labuhan Maringgai, Pugung, Jabung, Way Jepara, Kalianda, Raja Basa, Teluk Betung, Padang Cermin, Cukuh Balak, Way Lima, Talang Padang, Kota Agung, Semaka, Suoh, Sekincau, Batu Brak, Belalau, Liwa, Pesisir Krui, Ranau, Martapura, Muara Dua, Kayu Agung, empat kota ini ada di Propinsi Sumatera Selatan, Cikoneng di Pantai Banten dan bahkan Merpas di Selatan Bengkulu. Masyarakat Adat Saibatin seringkali juga dinamakan Lampung Pesisir karena sebagian besar berdomisili di sepanjang pantai timur, selatan dan barat lampung, masing masing terdiri dari:
* Paksi Pak Sekala Brak (Lampung Barat)
* Keratuan Melinting (Lampung Timur)
* Keratuan Darah Putih (Lampung Selatan)
* Keratuan Semaka (Tanggamus)
* Keratuan Komering (Provinsi Sumatera Selatan)
* Cikoneng Pak Pekon (Provinsi Banten)

Masyarakat adat Lampung Pepadun

Masyarakat beradat Pepadun/Pedalaman terdiri dari:
* Abung Siwo Mego (Unyai, Unyi, Subing, Uban, Anak Tuha, Kunang, Beliyuk, Selagai, Nyerupa). Masyarakat Abung mendiami tujuh wilayah adat: Kotabumi, Seputih Timur, Sukadana, Labuhan Maringgai, Jabung, Gunung Sugih, dan Terbanggi.
* Mego Pak Tulangbawang (Puyang Umpu, Puyang Bulan, Puyang Aji, Puyang Tegamoan). Masyarakat Tulangbawang mendiami empat wilayah adat: Menggala, Mesuji, Panaragan, dan Wiralaga.
* Pubian Telu Suku (Minak Patih Tuha atau Suku Manyarakat, Minak Demang Lanca atau Suku Tambapupus, Minak Handak Hulu atau Suku Bukujadi). Masyarakat Pubian mendiami delapan wilayah adat: Tanjungkarang, Balau, Bukujadi, Tegineneng, Seputih Barat, Padang Ratu, Gedungtataan, dan Pugung.
* Sungkay-WayKanan Buay Lima (Pemuka, Bahuga, Semenguk, Baradatu, Barasakti, yaitu lima keturunan Raja Tijang Jungur). Masyarakat Sungkay-WayKanan mendiami sembilan wilayah adat: Negeri Besar, Ketapang, Pakuan Ratu, Sungkay, Bunga Mayang, Blambangan Umpu, Baradatu, Bahuga, dan Kasui.
Falsafah Hidup Ulun Lampung

Falsafah Hidup Ulun Lampung termaktub dalam kitab Kuntara Raja Niti, yaitu:
* Piil-Pusanggiri (malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri)
* Juluk-Adok (mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya)
* Nemui-Nyimah (saling mengunjungi untuk bersilaturahmi serta ramah menerima tamu)
* Nengah-Nyampur (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis)
* Sakai-Sambaian (gotong-royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat lainnya)
Sifat-sifat di atas dilambangkan dengan ‘lima kembang penghias sigor’ pada lambang Provinsi Lampung.
Sifat-sifat orang Lampung tersebut juga diungkapkan dalam adi-adi (pantun):

Tandani Ulun Lampung, wat Piil-Pusanggiri
Mulia heno sehitung, wat liom khega dikhi
Juluk-Adok kham pegung, Nemui-Nyimah muakhi
Nengah-Nyampur mak ngungkung, Sakai-Sambaian gawi.


Bahasa Lampung

Bahasa Lampung, adalah sebuah bahasa yang dipertuturkan oleh Ulun Lampung di Propinsi Lampung, selatan palembang dan pantai barat Banten.
Bahasa ini termasuk cabang Sundik, dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia barat dan dengan ini masih dekat berkerabat dengan bahasa Sunda, bahasa Batak, bahasa Jawa, bahasa Bali, bahasa Melayu dan sebagainya.
Berdasarkan peta bahasa, Bahasa Lampung memiliki dua subdilek. Pertama, dialek A (api) yang dipakai oleh ulun Sekala Brak, Melinting Maringgai, Darah Putih Rajabasa, Balau Telukbetung, Semaka Kota Agung, Pesisir Krui, Ranau, Komering dan Daya (yang beradat Lampung Saibatin), serta Way Kanan, Sungkai, dan Pubian (yang beradat Lampung Pepadun). Kedua, subdialek O (nyo) yang dipakai oleh ulun Abung dan Tulangbawang (yang beradat Lampung Pepadun).
Dr Van Royen mengklasifikasikan Bahasa Lampung dalam Dua Sub Dialek, yaitu Dialek Belalau atau Dialek Api dan Dialek Abung atau Nyow.

Aksara Lampung

Aksara lampung yang disebut dengan Had Lampung adalah bentuk tulisan yang memiliki hubungan dengan aksara Pallawa dari India Selatan. Macam tulisannya fonetik berjenis suku kata yang merupakan huruf hidup seperti dalam Huruf Arab dengan menggunakan tanda tanda fathah di baris atas dan tanda tanda kasrah di baris bawah tapi tidak menggunakan tanda dammah di baris depan melainkan menggunakan tanda di belakang, masing-masing tanda mempunyai nama tersendiri.
Artinya Had Lampung dipengaruhi dua unsur yaitu Aksara Pallawa dan Huruf Arab. Had Lampung memiliki bentuk kekerabatan dengan aksara Rencong, Aksara Rejang Bengkulu dan Aksara Bugis. Had Lampung terdiri dari huruf induk, anak huruf, anak huruf ganda dan gugus konsonan, juga terdapat lambing, angka dan tanda baca. Had Lampung disebut dengan istilah KaGaNga ditulis dan dibaca dari kiri ke kanan dengan Huruf Induk berjumlah 20 buah.
Aksara lampung telah mengalami perkembangan atau perubahan. Sebelumnya Had Lampung kuno jauh lebih kompleks. Sehingga dilakukan penyempurnaan sampai yang dikenal sekarang. Huruf atau Had Lampung yang diajarkan di sekolah sekarang adalah hasil dari penyempurnaan tersebut.

Suku Pubian, Lampung

pakaian adat
Pepadun Pubian
Suku Pubian disebut juga sebagai suku Pubian Telu Suku, adalah salah satu suku yang berada di kabupaten Lampung Tengah dan kabupaten Lampung Selatan provinsi Lampung. Suku Pubian ini kadang disebut juga sebagai suku Abung Pubian, karena wilayah suku Pubian ini berada dalam wilayah adat suku Abung.
Masyarakat suku Pubian ini berada di bawah naungan adat Pepadun, yang mana adat Pepadun adalah salah satu dari dua adat dalam tradisi adat suku Lampung.

Dari cerita rakyat pada masyarakat suku Pubian menceritakan bahwa nenek moyang suku Pubian pada awalnya masuk melalui pinggiran Way Pengubuan dan hulu Way Pubian. Telu Suku dalam identitas nama suku Pubian, maksudnya bahwa kelompok suku Pubian terdiri dari 3 suku kecil (marga).

Suku kecil (marga) pada adat suku Pubian Telu Suku:
  • Tambapupus
  • Menyakhakat
  • Bukujadi
Menurut cerita adat pada suku Pubian, bahwa kemungkinan suku Pubian ini berasal dari keturunan Ratu Balau. Ratu Balau adalah seorang pemimpin dari Keratuan Balau, yaitu salah satu dari 4 Keratuan dari Kerajaan Skala Brak.
Menurut Riwayat, Ratu Balau mempersunting Puteri dari Kerajaan Pagaruyung, oleh karena itu kedua keratuan ini masih mempunyai hubungan kekeluargaan. Keturunan dari Keratuan Balau tersebar di sekitar Teluk Lampung, Balau, Natar dan Tigeneneng.

seorang perempuan
suku Pubian
pelantun seni Dadi
Seni budaya milik suku Pubian yang terkenal adalah kesenian Ringget dan Bubandung, selain itu ada satu lagi seni sastra lisan Dadi. Dalam bahasa Pubian, "dadi" berarti mengandung sindiran dan makna yang mendalam untuk diterjemahkan. Dadi biasanya dilantunkan saat pergantian tahun, panen raya, pertemuan bujang-gadis atau sebelum/sesudah acara gawi. Bahkan untuk mengadakan acara dadi dipersiapkan pertemuan khusus. Dalam membawakan Dadi membutuhkan nafas panjang dan pelantunnya harus menguasai bahasa Lampung asli atau bahasa Lampung tinggi. Oleh karena itu saat ini tak banyak orang Lampung yang benar-benar menguasainya.
SUKU LAMPUNG

Lampung, Sumatera

Letak : Lampung, Sumatra
Populasi : 1.900.000 jiwa
Bahasa : Lampung
Agama mayoritas : Islam
Anggota Gereja : 30 (0,002%)
Alkitab dalam bahasa Lampung : Sedang dikerjakan
Film Yesus dalam bahasa Lampung : Tidak Ada
Program penginjilan radio dalam bahasa Lampung : Tidak Ada
Suku Lampung tinggal di Propinsi Lampung, propinsi paling selatan dari P. Sumatra. Pada dasarnya, orang Lampung asli tinggal di propinsi Lampung, di daerah pesisir seperti di Kecamatan Kalianda (Lampung Selatan) dan Krui, sedangkan penduduk pedalaman tinggal di Kecamatan Menggala, tepatnya di sepanjang daerah aliran Sungai Tulang Bawang, Pendada, dan Masuji, suatu kawasan di Kabupaten Lampung Utara bagian Timur. Suku Lampung asli telah digolongkan di antara dua puluh suku di seluruh dunia yang paling kurang mendapat perhatian dan pelayanan Kabar Kesukaan.

SOSIAL BUDAYA
 
Suku Lampung bisa diklasifikasikan dari segi geografis, ataupun kebudayaan. Dari segi geografis, suku Lampung terdiri dari sub suku Abung, yang tinggal di pegunungan. Sub suku yang lain adalah sub suku Pubian, yang tinggal di pedataran timur; dan sub suku Peminggir, yang tinggal di pesisir selatan. Orang Lampung hidup dari bercocok tanam, khususnya tanaman keras, seperti lada, coklat dan durian.
Dari segi bahasa, suku Lampung bisa dibagi dalam dua dialek utama dengan delapan sub dialek. Bahasa Lampung berasal dari bahasa Melayu kuno. Dua dialek utama adalah dialek Nyou (dialek 'o') dan dialek Api (dialek `a'). Dialek Nyou bisa dibagi dalam dua sub-dialek, yaitu Abung dan sebagian dari dialek Tulangbawang. Dialek Api bisa dibagi dalam enam sub-dialek: Belalau, Peminggir (di pesisir selatan), Tulangbawang Hulu, Krui di pesisir barat, Pelinting dan Pubyian.
Suatu pokok filsafat kehidupan orang Lampung disebut Pi-il Pesenggiri, yang artinya setiap orang Lampung harus menjaga muka diri sendiri sebaik mungkin. Orang Lampung biasanya hidup secara sederhana, namun gemar akan pujian, sehingga tak segan-segan mengeluarkan biaya besar untuk mengadakan pesta adat. Keinginan untuk dihormati itu terlihat walaupun masih kanak-kanak, orang Lampung memakai nama besar yang disebut Juluk atau nama tua/gelar yang disebut Adok (untuk laki-laki) dan Inai untuk perempuan setelah berumah tangga.

AGAMA/ KEPERCAYAAN
 
Orang-orang Lampung asli adalah penganut Islam Shafia, yang dianggap sebagai aliran yang lebih taat kepada ajaran Islam Maliki, Ambili, dan Hanafi. Orang Lampung di kota lebih taat dalam menjalankan keagamaan daripada orang Lampung di desa. Namun masih ada juga orang Lampung yang percaya pada dewa-dewa, makhluk halus, kekuatan gaib dan kekuatan sakti lainnya. Mereka mempunyai tempat keramat sumur Pitu dan benda keramat pamonah yang dipercayai dapat menangkal penyakit menular (ta'un). Selain itu, ada juga simbol-simbol yang berhubungan dengan kepercayaan mereka, seperti tanda salib dengan kapur sirih di atas pintu, jendela atau pada jalan masuk rumah lainnya adalah tanda kepercayaan untuk menghindari gangguan roh jahat seperti kuntilanak khususnya bila di dalam rumah ada wanita yang hamil tua.

KEBUTUHAN
 
Yang mereka butuhkan adalah pendidikan lapangan pekerjaan. Saat ini di Lampung tercatat 11.054 anak usia sekolah (7-12 tahun) yang belum tertampung dan ada 70.998 anak putus sekolah. Di bidang tenaga kerja, sampai akhir tahun 1995 tercatat pengangguran ada 116.941 orang. Selain itu mereka harus disiapkan untuk masuk dalam era industri, khususnya mental bersaing dan hidup dalam masyarakat majemuk.

POKOK DOA
Firman Tuhan : Kemudian daripada itu aku melihat : sesungguhnya, suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhintung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan mereka. Dan dengan suara nyaring mereka berseru : "Keselamatan bagi Allah kami yang duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba !" (\\/TB #Wahyu 7:9-10*\\)
  1. Berdoa agar Tuhan mencurahkan Roh Kudus, berkat dan kasihNya di tengah-tengah suku Lampung, agar terang dan kemuliaan Tuhan bercahaya di atasnya. Berdoa agar hati mereka disentuh oleh kasih Tuhan melalui berbagai cara dan mereka yang berseru kepada nama Tuhan akan diselamatkan.
  2. Berdoa agar Tuhan yang empunya tuaian membangkitkan gerejaNya untuk bersatu dan bekerjasama, menyediakan pekerja : pendoa syafaat, penerjemah Alkitab, kaum profesional, penabur dan penuai untuk memberkati dan meningkatkan kesejahteraan hidup suku Lampung
  3. Berdoa bagi adanya lembaga & gereja yang digerakkan oleh Tuhan untuk mengadopsi suku Lampung yang juga berbeban dalam meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.
Suku Lampung


Kata Lampung sendiri berasal dari kata "anjak lambung" yang berarti berasal dari ketinggian dan seperti diketahui bahwa kaki gunung Pesagi dan dataran tinggi Sekala brak, Lampung Barat yang menjadi tempat asal mula suku Lampung atau  Ulun Lampung adalah puncak tertinggi di tanah Lampung. Karena kebutuhan untuk memenuhi hidup yang sudah tidak terpenuhi lagi di dataran tinggi Sekala Brak, maka kelompok demi kelompok meninggalkan Sakala Berak menurun ke lembah dengan mengikuti aliran sungai. Kelompok atau kaum tersebut kemudian membentuk buwai.
Catatan lain menyebutkan bahwa perpindahan suku asli lampung disebabkan adanya penyerangan dari luar, sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Kuntara Raja Niti, bahwa orang-orang Bajau (perompak laut) datang menyerang, akhirnya Keratuan Pemanggilan menjadi pecah. Sedangkan warganya beralih tempat meninggalkan Skala Berak menuju ke daerah dataran rendah Lampung sekarang.
Sejak saat itu, Ulun Lampung menjadi beberapa buwai yang kemudian menjadi Sub-suku Lampung seperti sekarang ini, yaitu Komering, Peminggir Teluk/ Semangka/ Pemanggilan, Melinting/ Meninting, Way Kanan, Sungkai, Pubian, Abung, dan Tulang bawang. Termasuk juga Ranau dan Lampung Cikoneng. Catatan asal usul ini masih sangat perlu didukung data-data autentik dan tersurat dalam catatan/ dokumen yang tertulis di kulit-kulit pohon yang mungkin banyak tersimpan seantero kampung tua yang ada di Lampung. Termasuk di daerah Ranau maupun Komering.
Di Lampung juga mengenal sebutan masyarakat adat Saibatin atau Pesisir, yaitu pribumi suku Lampung yang melaksanakan adat musyawarahnya tanpa menggunakan kursi Pepadun. Sebagian besar dari mereka berdiam ditepi pantai, maka masyarakatnya disebut adat Pesisir. Sementara, masyarakat beradat Pepadun, yakni pribumi suku Lampung yang melaksanakan musyawarah adatnya menggunakan kursi Pepadun. Adat Pepadun, adat istiadat pribumi Lampung Abung Siwo Mego; Abung Siwo Megou, Pubian Telu Suku (termasuk Pubian Dua Suku di Pesawaran) dan Megou Pak Tulang Bawang. Pepadun, tahta kedudukan penyimbang atau tempat seorang duduk dalam kerajaan adat. Pepadun biasanya digunakan saat pengambilan gelar kepenyimbangan (pimpinan adat). 
Pertumbuhan penduduk asli atau Ulun Lampung terhitung sangat lambat, bukan oleh karena kesehatan yang kurang baik, tapi karena adanya peraturan perkawinan yang ketat. Wanita asli Lampung akan dikawinkan ketika telah berumur 18 tahun, sedangkan pria ketika sudah melebihi usia 21 tahun. Kecuali dalam keadaan khusus yang disebabkan adanya kepentingan kekerabatan adat yang mendesak, kehilangan punyimbang / sebatin, atau karena persoalan waris.
Selain karena adanya peraturan perkawinan harus cukup umur, dalam masyarakat Lampung jarang terjadi perceraian atau mengawini janda, jika tidak karena terpaksa. Misalnya di lingkungan masyarakat beradat pepadun, penceraian merupakan perbuatan yang dilarang oleh hukum adat. Perkawinan lebih dari satu atau poligami pun sangat jarang terjadi, hanya terjadi di kalangan orang yang mampu atau pemuka adat.
Dalam menjalin hubungan sosial, Ulun Lampung, sekali pun masih anak-anak, mereka memakai nama besar yang disebut juluk. Setelah berumah tangga, ia memakai nama tua atau gelar yang disebut adok bagi laki-laki dan inai bagi perempuan. Secara kehidupan orang Lampung sebenarnya sangat sederhana, namun mereka suka mendapat pujian dan gemar menerima tamu atau nemui, juga gemar memberi hadiah pada kerabat atau nyimah. Selain pada sesama kerabat, mereka pun suka melakukan kunjung mengunjung atau negah, suka berkenalan satu sama lain atau nyapur, serta berbincang-bincang dan bermusyawarah hingga lupa waktu. Intinya Ulun Lampung sangat solider dan suka bersosialisasi.
Sifat suka bersosialisasinya bisa kita temukan dalam pandangan hidupnya yang kuat. Dicerminkan dalam bahasa daerah yang disebut Pi-il Pesenggiri, urutan pengertiannya seperti berikut: Pi-il Pesenggiri (rasa harga diri), Jutuk adek (bernama bergelam), Memui nyimah (terbuka tangan), Nengah nyampur (hidup bermasyarakat), Sakai Sambayan (tolong menolong).
Dalam menghadapi masalah, orang Lampung berpegang pada; “ulah pi-il jadai wawai” dan “ulah pi-il menguwai jahlel” yang berarti; “karena pi-il menjadi baik” dan “karena pi-il membuat jahat”. Jadi jika suatu masalah diselesaikan secara baik-baik dengan orang Lampung, maka mereka akan bertoleransi tinggi, namun jika suatu masalah tidak diselesaikan dengan baik, orang Lampung akan sekuat tenaga mempertahankan harga dirinya.

Sekala Brak, Etimologi dan Sejarah Etnis Lampung

Asal usul bangsa Lampung adalah dari Sekala Brak yaitu sebuah Kerajaan yang letaknya di dataran Belalau, sebelah selatan Danau Ranau yang secara administratif kini berada di Kabupaten Lampung Barat. Dari dataran Sekala Brak inilah bangsa Lampung menyebar ke setiap penjuru dengan mengikuti aliran Way atau sungai-sungai yaitu way komering, way kanan, way semangka, way seputih, way sekampung dan way tulang bawang beserta anak sungainya, sehingga meliputi dataran Lampung dan Palembang serta Pantai Banten. Sekala Brak memiliki makna yang dalam dan sangat penting bagi bangsa Lampung. Ia melambangkan peradaban, kebudayaan dan eksistensi Lampung itu sendiri. Bukti tentang kemasyuran kerajaan Sekala Brak didapat dari cerita turun temurun yang disebut warahan, warisan kebudayaan, adat istiadat, keahlian serta benda dan situs seperti tambo dan dalung seperti yang terdapat di Kenali, Batu Brak dan Sukau. Kata LAMPUNG sendiri berawal dari kata "Anjak Lambung" yang berarti berasal dari ketinggian ini karena para puyang Bangsa Lampung pertama kali bermukim menempati dataran tinggi Sekala Brak di lereng Gunung Pesagi. Sebagaimana I Tshing yang pernah mengunjungi Sekala Brak setelah kunjungannya dari Sriwijaya dan beliau menyebut To-Langpohwang bagi penghuni negeri ini. Dalam bahasa hokkian, dialek yang dipertuturkan I Tshing, To-Langpohwang berarti Orang Atas dan seperti diketahui Pesagi dan dataran tinggi Sekala Brak adalah puncak tertinggi di Tanoh Lampung. Ada beberapa teori tentang etimologi Sekala Brak, yaitu:
  • Sakala Bhra yang berarti titisan dewa (terkait dengan Kerajaan Sekala Brak Hindu)
  • Segara Brak yang berarti genangan air yang luas (diketahui sebagai Danau Ranau)
  • Sekala Brak yang berarti tumbuhan sekala dalam jumlah yang banyak dan luas (tumbuhan ini banyak terdapat di Pesagi dan dataran tingginya)
Tafsiran para ahli purbakala seperti GroeneveltL.C.Westernenk dan Hellfich di dalam menghubungkan bukti bukti memiliki pendapat yang berbeda beda namun secara garis besar didapat benang merah kesamaan dan acuan yang tidak diragukan di dalam menganalisa bahwa Sekala Brak merupakan cikal bakal bangsa Lampung.
Dalam buku The History of Sumatra karya The Secretary to the President and the Council of Port Marlborough Bengkulu, William Marsdn, 1779, diketahui asal-usul Penduduk Asli Lampung. Didalam bukunya William Marsdn mengungkapkan "If you ask the Lampoon people of these part, where originally comme from they answere, from the hills, and point out an island place near the great lake whence, the oey, their forefather emigrated…". "Apabila tuan-tuan menanyakan kepada Masyarakat Lampung tentang dari mana mereka berasal, mereka akan menjawab dari dataran tinggi dan menunjuk ke arah Gunung yang tinggi dan sebuah Danau yang luas.." Dari tulisan ini bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud danau tersebut ialah Danau Ranau. Sedangkan Gunung yang berada dekat Danau adalah Gunung Pesagi, Sebagaimana juga ditulis Zawawi Kamil (Menggali Babad & Sedjarah Lampung) disebutkan dalam sajak dialek Komering/Minanga: "Adat lembaga sai ti pakaisa buasal jak Belasa Kapampang, Sajaman rik tanoh pagaruyung pemerintah bunda kandung, Cakak di Gunung Pesagi rogoh di Sekala Berak, Sangon kok turun temurun jak ninik puyang paija, Cambai urai ti usung dilom adat pusako"
 Terjemahannya berarti "Adat Lembaga yang digunakan ini berasal dari Belasa Kepampang (Nangka Bercabang), Sezaman dengan ranah pagaruyung pemerintah bundo kandung, Naik di Gunung Pesagi turun di Sekala Berak, Memang sudah turun temurun dari nenek moyang dahulu, Sirih pinang dibawa di dalam adat pusaka, Kalau tidak pandai tata tertib tanda tidak berbangsa".
Dalam catatan Kitab Tiongkok kuno yang disalin oleh Groenevelt kedalam bahasa Inggris bahwa antara tahun 454 dan 464 Masehi disebutkan kisah sebuah Kerajaan Kendali yang terletak di antara pulau Jawa dan Kamboja. Prof. Wang Gungwu dalam majalah ilmiahJournal of Malayan Branch of the Royal Asiatic Society dengan lebih spesifik menyebutkan bahwa pada tahun tahun 441, 455, 502, 518, 520, 560 dan 563 yang mulia Sapanalanlinda dari Negeri Kendali mengirimkan utusannya ke Negeri Cina.
Menurut L.C. Westenenk nama Kendali ini dapat kita hubungkan dengan Kenali Ibukota Kecamatan Belalau sekarang. Nama Sapalananlinda itu menurut kupasan dari beberapa ahli sejarah, dikarenakan berhubung lidah bangsa Tiongkok tidak fasih melafaskan kata Sribaginda, ini berarti Sapanalanlinda bukanlah suatu nama. Hal diatas membuktikan bahwa pada abad ke 3 telah berdiri Kerajaan Sekala Brak Kuno yang belum diketahui secara pasti kapan mulai berdirinya. Kerajaan Sekala Brak ini dihuni oleh Buay Tumi dengan Ibu Negeri Kenali dan Agama resminya adalah Hindu Bairawa. Hal ini dibuktikan dengan adanya Batu Kepampang di Kenali yang fungsinya adalah sebagai alat untuk mengeksekusi Pemuda dan Pemudi yang tampan dan cantik sebagai tumbal dan persembahan untuk para Dewa.
Riwayat leluhur Bangsa Lampung/Sekala Brak dapatditelusuri melalui warahan (cerita turun temurun),tambo (catatan pada kulit kayu),maupun hahiwang (puisi/syair adat). Di lereng gunung Pesagi,dapat ditemukan berbagai peninggalan lain,seperti bebatuan yang tersebar di gunung Pesagi,tapak bekas kaki,altar/tempat eksekusi muda-mudi. Kerajaan Sekala Brak menjalin kerjasama perdagangan antar pulau dengan Kerajaan Kerajaan lain di Nusantara dan bahkan dengan India dan Negeri Cina. Prof. Olivier W. Wolters dari Universitas Cornell, dalam bukunya Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1967, hal. 160, mengatakan bahwa ada dua kerajaan di Asia Tenggara yang mengembangkan perdagangan dengan Cina pada abad 5 dan 6 yaitu Kendali di Andalas dan Ho-lo-tan di Jawa. Dalam catatan Dinasti Liang (502-556) disebutkan tentang letak Kerajaan Sekala Brak yang ada di Selatan Andalas dan menghadap kearah Samudra India, Adat Istiadatnya sama dengan Bangsa Kamboja dan Siam, Negeri ini menghasilkan pakaian yang berbunga, kapas, pinang, kapur barus dan damar.
Dari Prasasti Hujung Langit (Hara Kuning) bertarikh 9 Margasira 919 Caka yang di temukan di Bunuk Tenuar Liwa terpahat nama raja di daerah Lampung yang pertama kali ditemukan pada prasasti. Prasasti ini terkait dengan Kerajaan Sekala Brak kuno yang masih dikuasai oleh Buay Tumi. Prof. Dr. Louis-Charles Damais dalam buku Epigrafi dan Sejarah Nusantara yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta, 1995, halaman 26-45, diketahui nama Raja yang mengeluarkan prasasti ini tercantum pada baris ke-7, menurut pembacaan Prof. Damais namanya adalah Baginda Sri Haridewa. Lebih jauh lagi Sekala Brak Hindu adalah juga merupakan cikal bakal Sriwijaya, dimana saat persebaran awal dimulai dari dataran tinggi Pesagi dan Danau Ranau satu kelompok menuju keselatan menyusuri dataran Lampung dan kelompok yang lain menuju kearah utara menuju dataran palembang (Van Royen:1927). Bahkan seorang keturunan dari Sekala Brak Hindu adalah merupakan Pendiri dari Dinasti Sriwijaya adalah Dapunta Hyang Sri Jayanaga yang memulai Dinasti Sriwijaya awal dengan ibu negeri Minanga Komering (Arlan Ismail:2003).
Berdasarkan Warahan dan Sejarah yang disusun di dalam Tambo, dataran Sekala Brak yang pada awalnya dihuni oleh suku bangsa Tumi ini mengagungkan sebuah pohon yang bernama Belasa Kepampang atau nangka bercabang karena pohonnya memiliki dua cabang besar, yang satunya nangka dan satunya lagi adalah sebukau yaitu sejenis kayu yang bergetah. Keistimewaan Belasa Kepampang ini bila terkena cabang kayu sebukau akan dapat menimbulkan penyakit koreng atau penyakit kulit lainnya, namun jika terkena getah cabang nangka penyakit tersebut dapat disembuhkan. Karena keanehan inilah maka Belasa Kepampang ini diagungkan oleh suku bangsa Tumi.

Pembagian Wilayah Lampung Berdasarkan Way

Masyarakat Lampung hidup teratur dengan berpegang kepada norma dan adat perniti baik yang tertulis dalam huruf Lampung Kuno maupun secara lisan secara turun temurun. Kehidupan kemasyarakatan diatur dengan sistem kekerabatan yang bersifat Genealogis Patrilineal dimana pemerintahan dilakukan secara adat terutama yang mengatur sistem mata pencaharian hidup, sistem kekerabatan, kehidupan sosial dan budaya. Secara Harfiah Buway (Bu-Way) berarti pemilik air atau pemilik daerah kekuasaan berdasarkan daerah aliran air atau sungai. Pembagian daerah dan wilayah berdasarkan sungai sungai atau way yang ada di Lampung sehingga menjadi beberapa Marga Atau Buway, pembagian ini dimaksudkan agar tidak terjadi perselisihan antar marga atau kebuayan. Pembagian wilayah ini diatur oleh Umpu Bejalan Di Way. A. Wilayah Kekuasaan Kepaksian inti Paksi Pak Sekala Brak:
  1. Way Selalau
  2. Way Belunguh
  3. Way Kenali
  4. Way Kamal
  5. Way Kandang Besi
  6. Way Semuong
  7. Way Sukau
  8. Way Ranau
  9. Way Liwa
  10. Way Krui
  11. Way Semaka
  12. Way Tutung
  13. Way Jelai
  14. Way Benawang
  15. Way Ngarip
  16. Way Wonosobo
  17. Way Ilahan
  18. Way Kawor Gading
  19. Way Haru
  20. Way Tanjung Kejang
  21. Way Tanjung Setia
B. Wilayah Kekuasaan Penyimbang Punggawa Melinting:
  1. Way Meringgai
  2. Way Kalianda
  3. Way Harong
  4. Way Palas
  5. Way Jabung
  6. Way Tulung Pasik
  7. Way Jepara
  8. Way Kambas
  9. Way Ketapang
  10. Way Limau
  11. Way Badak
  12. Way Pertiwi
  13. Way Putih Doh
  14. Way Kedondong
  15. Way Bandar Pasir
  16. Way Punduh
  17. Way Pidada
  18. Way Batu Regak
  19. Way Berak
  20. Way Kelumbayan
  21. Way Peniangan
C. Wilayah Kekuasaan Penyimbang Punggawa Pubiyan Telu Suku:
  1. Way Pubiyan
  2. Way Tebu
  3. Way Ratai
  4. Way Seputih
  5. Way Balau
  6. Way Penindingan
  7. Way Semah
  8. Way Salak Berak
  9. Way Kupang Teba
  10. Way Bulok
  11. Way Latayan
  12. Way Waya
  13. Way Samang
  14. Way Layap
  15. Way Pengubuan
  16. Way Sungi Sengok
  17. Way Peraduan
  18. Way Batu Betangkup
  19. Way Selom
  20. Way Heni.
  21. Way Naningan
D. Wilayah Kekuasaan Penyimbang Punggawa Sungkay Bunga Mayang:
  1. Way Sungkay
  2. Way Malinai
  3. Way Tapus
  4. Way Tapus
  5. Way Ulok Buntok
  6. Way Tapal Badak
  7. Way Kujau
  8. Way Surang
  9. Way Kistang
  10. Way Raman Gunung
  11. Way Rantau Tijang
  12. Way Tulung Selasih
  13. Way Tulung Biuk
  14. Way Tulung Maus
  15. Way Tulung Cercah
  16. Way Tulung Hinduk
  17. Way Tulung Mengundang
  18. Way Kubu Hitu
  19. Way Pengacaran
  20. Way Cercah
  21. Way Pematang Hening
E. Wilayah Kekuasaan Penyimbang Punggawa Buay Lima Way Kanan:
  1. Way Umpu
  2. Way Besay
  3. Way Jelabat
  4. Way Sunsang
  5. Way Putih Kanan
  6. Way Pengubuan Kanan
  7. Way Giham
  8. Way Petay
  9. Way Hitam
  10. Way Dingin
  11. Way Napalan
  12. Way Gilas
  13. Way Bujuk
  14. Way Tuba
  15. Way Baru
  16. Way Tenong
  17. Way Kistang
  18. Way Panting Kelikik
  19. Way Kabau
  20. Way Kelom
  21. Way Peti
F. Wilayah Kekuasaan Penyimbang Punggawa Abung Siwo Mego:
  1. Way Abung
  2. Way Melan
  3. Way Sesau
  4. Way Kunyaian
  5. Way Sabu
  6. Way Kulur
  7. Way Kumpa
  8. Way Bangik
  9. Way Babak
  10. Way Tulung Balak
  11. Way Galing
  12. Way Cepus
  13. Way Muara Toping
  14. Way Terusan Nunyai
  15. Way Pematang Hening
  16. Way Banyu Urip
  17. Way Candi Sungi
  18. Way Tulung Biuk
  19. Way Tulung Pius
  20. Way Umban
  21. Way Guring
G. Wilayah Kekuasaan Penyimbang Punggawa Mego Pak Tulang Bawang:
  1. Way Rarem
  2. Way Gedong Aji
  3. Way Penumangan
  4. Way Panaragan
  5. Way Kibang
  6. Way Ujung Gunung
  7. Way Nunyik
  8. Way Lebuh Dalom
  9. Way Gunung Tukang
  10. Way Pagar Dewa
  11. Way Rawa Panjang
  12. Way Rawa Cokor
  13. Way Tulung Belida
  14. Way Karta
  15. Way Gunung Katun
  16. Way Malai
  17. Way Krisi
H. Wilayah Kekuasaan Penyimbang Punggawa Komering:
  1. Way Komering
  2. Beserta anak sungainya

Falsafah Hidup Orang Lampung

Falsafah Hidup Ulun Lampung tersebut diilustrasikan dengan lima bunga penghias Sigor pada lambang Propinsi Lampung.
Menurut kitab Kuntara Raja Niti, Ulun Lampung haruslah memiliki Lima Falsafah Hidup:
  1. Piil-Pusanggiri (malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri),
  2. Juluk-Adok (mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya),
  3. Nemui-Nyimah (saling mengunjungi untuk bersilaturahmi, selalu mempererat persaudaraan serta ramah menerima tamu),
  4. Nengah-Nyampur (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis),
  5. Sakai-Sambayan (gotong-royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat lainnya).
Tujuh Pedoman Hidup Ulun Lampung:
  1. Berani menghadapi tantangan: mak nyerai ki mak karai, mak nyedor ki mak bador.
  2. Teguh pendirian: ratong banjir mak kisir, ratong barak mak kirak.
  3. Tekun dalam meraih cita-cita: asal mak lesa tilah ya pegai, asal mak jera tilah ya kelai.
  4. Memahami anggota masyarakat yang kehendaknya tidak sama: pak huma pak sapu, pak jelma pak semapu, sepuluh pandai sebelas ngulih-ulih, sepuluh tawai sebelas milih-pilih.
  5. Hasil yang kita peroleh tergantung usaha yang kita lakukan: wat andah wat padah, repa ulah riya ulih.
  6. Mengutamakan persatuan dan kekompakan: dang langkang dang nyapang, mari pekon mak ranggang, dang pungah dang lucah, mari pekon mak belah.
  7. Arif dan bijaksana dalam memecahkan masalah: wayni dang rubok, iwani dapok.

Sekilas Tentang Seni Dan Tradisi

Bangsa Lampung memiliki ragam kesenian yang kaya akan keragaman, keindahan dan keanggunan budaya.
Tarian yang dibawakan oleh Muli Meghanai Lampung memiliki ciri khas gerak serta langgam tersendiri. Tarian klasik yang diselenggarakan pada saat upacara kerajaan adalah suatu bentuk tarian yang dikenal dengan nama Tarakot Kataki atau Lalayang Kasiwan yang masing masing diperagakan oleh dua belas Meghanai secara bersama sama sebagian memegang kipas dan sebagian lagi tidak memegang kipas.
Ragam tarian lain adalah Tari Tanggai yang ditampilkan oleh satu, dua, atau empat orang Muli yang masing masing memegang kipas. Didalam membawakan Tari Tanggai para Muli ini menggunakan aksesoris berupa kuku kuku panjang yang terbuat dari perak yang dipasang diujung jari para penari. Tari tersebut diiringi oleh irama Gamulan/Kulintang dengan ditingkahi para Meghanai yang membawakan bait tertentu yang dinamakan Ngadidang. Dalam sepuluh hari di dalam bulan Syawal diadakan Sekuraan yaitu Festival Topeng yang diselenggarakan sebagai ungkapan suka cita setelah sebulan penuh berpuasa dan mendapatkan Hari Kemenangan. Sekuraan ini diadakan dibeberapa Pekon di Sekala Brak dengan berbagai suguhan Kesenian seperti Silek, Muwayak, Hadra, dan Nyambai oleh para Sekura.
Ada dua tipe Sekura yaitu Sekura Helau yang melambangkan kebajikan dan kebijaksanaan dan Sekura Kamak yang melambangkan Ketamakan dan Keangkaramurkaan. Sekura Helau mengenakan kostum yang indah dan bagus seperti bawahan yang mengenakan kain yang bermotifkan Tapis dan atasan yang mengenakan Kain Panjang, sedangkan Sekura Kamak mengenakan Topeng yang menyeramkan dan kostum yang kebanyakan berwarna hitam hitam. Setiap sehari sebelum Idul Fitri dan Idul Adha ada tradisi Ngelemang pada Paksi Paksi di Sekala Brak terutama di Paksi Buay Bejalan Di Way, ada beberapa jenis Lemang seperti Lemang Siwok yang terbuat dari ketan, Lemang Bungking yang terbuat dari ketan–pisang, dan Lemang Ceghughut yang terbuat dari ketan–gula merah. Tradisi ini sebenarnya adalah tradisi lanjutan seperti yang berlaku di daerah Minangkabau.
Bangsa Lampung dikenal memiliki kain tenun yang indah dan anggun yang dikenal dengan Kain Tapis. Tapis adalah kain yang agung dan sakral yang pada mulanya hanya dikenakan oleh Para Saibatin dan keluarganya saja terutama dikenakan dalam Gawi dan Upacara adat. Namun dalam perkembangannya Kain Tapis telah diproduksi secara massal sehingga setiap khalayak dapat berkesempatan untuk memiliki dan mengenakannya.
Saat ini Kain Tapis telah dikomersialkan dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan telah melanglangbuana hingga ke mancanegara. Kini Kain Tapis telah mengalami perkembangannya hingga semakin variatif dengan berbagai macam bentuk dan telah merambah dunia fasion seperti pakaian dan aksesoris aksesoris yang bermotifkan Tapis.