Sejarah Kain Tapis Lampung

Kain Tapis merupakan salah satu jenis kerajinan tradisional
masyarakat Lampung dalam menyelaraskan kehidupannya baik terhadap lingkungannya
maupun Sang Pencipta Alam Semesta. Karena itu munculnya kain Tapis ini ditempuh
melalui tahap-tahap waktu yang mengarah kepada kesempurnaan teknik tenunnya,
maupun cara-cara memberikan ragam hias yang sesuai dengan perkembangan
kebudayaan masyarakat. Menurut Van der Hoop disebutkan bahwa orang lampung
telah menenun kain Brokat yang disebut Nampan (Tampan) dan kain Pelepai sejak
abad II masehi. Motif kain ini ialah kait dan konci (Key and Rhomboid shape),
pohon hayat dan bangunan yang berisikan roh manusia yang telah meninggal. Juga
terdapat motif binatang, matahari, bulan serta bunga melati. Dikenal juga tenun
kain tapis yang bertingkat, disulam dengan benang sutera putih yang disebut
Kain Tapis Inuh. Hiasan-hiasan yang terdapat pada kain tenun Lampung juga
memiliki unsur-unsur yang sama dengan ragam hias di daerah lain. Hal ini
terlihat dari unsur-unsur pengaruh taradisi Neolithikum yang memang banyak
ditemukan di Indonesia. Masuknya agama Islam di Lampung, ternyata juga
memperkaya perkembangan kerajinan tapis ini. Walaupun unsur baru tersebut telah
berpengaruh, unsur lama tetap dipertahankan. Adanya komunikasi dan lalu lintas
antar kepulauan Indonesia sangat memungkinkan penduduknya mengembangkan suatu
jaringan maritim. Dunia kemaritiman atau disebut dengan jaman bahari sudah
mulai berkembang sejak jaman kerajaan Hindu Indonesia dan mencapai kejayaan
pada masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan islam antara tahun
1500 1700.
Bermula dari
latar belakang sejarah ini, imajinasi dan kreasi seniman pencipta jelas
mempengaruhi hasil ciptaan yang mengambil ide-ide pada kehidupan sehari-hari
yang berlangsung disekitar lingkungan seniman dimana ia tinggal. Penggunaan
transportasi pelayaran saat itu dan alam lingkungan laut telah memberi ide
penggunaan motif hias pada kain kapal. Ragam motif kapal pada kain kapal
menunjukkan adanya keragaman bentuk dan konstruksi kapal yang digunakan. Dalam
perkembangannya, ternyata tidak semua suku Lampung menggunakan Tapis sebagai
sarana perlengkapan hidup. Diketahui suku Lampung yang umum memproduksi dan
mengembangkan tenun Tapis adalah suku Lampung yang beradat Pepadun.
Perkembangan
Perjalanan
sejarah perkembangan terbentuknya ragam hias, kain tapis Lampung
mendapat berbagai pengaruh kebudayan lain, seiring dengan terjalinnya
kontak, interaksi, dan komunikasi masyarakat adat Lampung dengan
kebudayaan luar. Kebudayaan yang memberikan pengaruh pada pembentukan
gaya seni hias kain tapis antara lain, kebudayan Dongson dari daratan
Asia, Hindu-Budha, Islam, dan Eropa.
Melalui
proses yang panjang, akulturasi terjadi antara unsur-unsur hias
kebudayaan asing dengan unsur-unsur hias lama. Unsur-unsur asing yang
datang tidak menghilangkan unsur-unsur lama, akan tetapi semakin
memperkaya corak, ragam, dan gaya yang sudah ada. Berbagai kebudayaan
tersebut terpadu dan terintegrasi dalam satu konsep utuh yang tidak
dapat dipisahkan dan melahirkan corak baru yang unik dan khas.
Nilai
estetis kain tapis menyatu dalam beberapa azas dan ketentuan, yaitu (1)
azas kesatuan organis, (2) azas tema atau konsep, (3) azas
keseimbangan, (4) azas bertingkat, (5) azas kerumitan, dan (6) azas
kesungguhan.
Kain
tapis bagi masyarakat adat Lampung memiliki makna simbolis sebagai
lambang kesucian yang dapat melindungi pemakainya dari segala kotoran
dari luar. Selain itu dalam pemakaiannya kain tapis juga melambangkan
status sosial pemakainya. Makna simbolis kain tapis terdapat pada
kesatuan utuh bentuk motif yang diterapkan, serta bidang warna kain
dasar sebagai wujud kepercayaan yang melambangkan kebesaran Pencipta
Alam. Kain tapis merupakan pakaian resmi masyarakat adat Lampung dalam
berbagai upacara adat dan keagamaan, dan merupakan perangkat adat yang
serupa pusaka keluarga.
Terkait dengan pemerintahan adat, masyarakat Lampung yang beradat Pepadun memakai sistem kepunyimbangan berdasarkan garis keturunan laki-laki (matrilineal). Pada masyarakat Lampung Pepadun tingkatan punyimbang ada tiga, yaitu: (1) punyimbang marga atau paksi yang membawahi tiyuh (kampung), (2) punyimbang tiyuh yang membawahi beberapa suku atau bilik, dan (3) punyimbang suku yang membawahi beberapa nuwow balak
(rumah adat). Susunan masyarakat yang bertingkat-tingkat mengkondisikan
adanya aturan yang mengatur pemakaian kain tapis sebagai busana adat
yang menyesuaikan status sosialnya dalam masyarakat. Aturan yang berlaku tersebut juga disertai hukuman atau sanksi adat (cepalo) bagi anggota masyarakat yang melanggarnya.
Dalam
rentang perjalanannya, kain tapis tidak hanya menunjukkan suatu proses
kontinum kelangsungannya, tetapi juga menampakkan terjadinya perubahan
dan pengembangan dalam banyak aspek, seperti pada aspek fungsinya kain
tapis berubah dari benda sacral yang terkait erat dengan adat dan
kepercayaan masyarakat Lampung berubah menjadi benda profan dan sekuler
yang berfungsi untuk komoditi pasar. Pada aspek produknya kain tapis
tidak hanya berupa kain sarung adat, tetapi sudah mengalami modivikasi
dan diversivikasi sehingga tercipta berbagai produk seni kerajinan kain
tapis seperti, busana pesta, busana muslim, hiasan dinding, kaligrafi,
partisi ruangan, perlengkapan kamar tidur, tas, dompet, kopiah, tempat
tisu, dan sebagainya.
Pada
aspek bentuk motif yang diterapkan tidak terjadi perubahan frontal,
secara umum bentuk motifnya masih sama hanya terjadi perubahan seiring
perubahan bentuk produk yang disertai pengembangan, modivikasi, variasi,
penyederhanaan, dan sedikit penambahan. Perubahan signifikan terjadi
pada penghilangan makna simbolis-filosofis yang terkandung di dalamnya.
Motif kain tapis sekarang hanya dilihat dari aspek keindahannya semata.
Perubahan
yang terjadi pada kain tapis Lampung terjadi seiring dengan perubahan
masyarakat pendukungnya, seperti adanya interpretasi dan persepsi
masyarakat Lampung terhadap kain tapis, keterbukaan masyarakat lampung
terhadap berbagai inovasi, ide-ide, dan kreasi baru yang tercermin pada
sifat dan watak nemui nyimah, dan nengah nyappur.
Kecintaan, keinginan, dan sikap progresif para perajin kain tapis yang
didukung bakat seni dan keterampilan teknik yang diturunkan generasi
sebelumnya untuk melestarikan, mempertahankan, dan mengembangkan seni
kerajinan kain tapis.
Faktor
eksternal yang mendorong terjadinya perubahan seni kerajinan kain tapis
Lampung, selain berkembangnya dunia pariwisata daerah Lampung adalah
adanya lembaga atau institusi pemerintah maupun swasta di Lampung yang
berusaha mengembangkan seni kerajinan kain tapis dengan melakukan
berbagai usaha, seperti program pelatihan, penyuluhan, dan pembinaan
untuk dapat meningkatkan kemampuan teknis, jiwa kewirausahaan, maupun
manajemen usaha para perajin kain tapis. Pemerintah juga telah mengambil
kebijakan penting dengan menciptakan lingkungan usaha yang kondusif dan
memberikan kemudahan dalam bidang produksi, permodalan, distribusi, dan
pemasaran.
Pembubaran lembaga adat Lampung (kepunyimbangan)
oleh pemerintah juga ikut mendorong perubahan yang terjadi pada kain
tapis. Dengan berubahnya struktur pemerintahan, maka lembaga dan
organisasi sosial dalam masyarakat adat tidak lagi memiliki legitimasi.
Lembaga adat (kepunyimbangan) yang berfungsi sebagai pagar sekaligus kontrol dalam rangka melindungi stabilitas atau equilibrium
masyarakat tidak berfungsi lagi sebagaimana mestinya. Namun akan lebih
baik seandainya keputusan pemerintah tentang penghapusan lembaga adat
ditinjau kembali, karena adanya lembaga tersebut akan semakin
memperkokoh eksistensi kain tapis Lampung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar