Teks terus berputar ke kanan dengan kecepatan lambat

Minggu, 28 Desember 2014

Sejarah Kain Tapis Lampung
 
http://lili.staff.uns.ac.id/files/2009/06/tapislampung21.jpg

Kain Tapis merupakan salah satu jenis kerajinan tradisional masyarakat Lampung dalam menyelaraskan kehidupannya baik terhadap lingkungannya maupun Sang Pencipta Alam Semesta. Karena itu munculnya kain Tapis ini ditempuh melalui tahap-tahap waktu yang mengarah kepada kesempurnaan teknik tenunnya, maupun cara-cara memberikan ragam hias yang sesuai dengan perkembangan kebudayaan masyarakat. Menurut Van der Hoop disebutkan bahwa orang lampung telah menenun kain Brokat yang disebut Nampan (Tampan) dan kain Pelepai sejak abad II masehi. Motif kain ini ialah kait dan konci (Key and Rhomboid shape), pohon hayat dan bangunan yang berisikan roh manusia yang telah meninggal. Juga terdapat motif binatang, matahari, bulan serta bunga melati. Dikenal juga tenun kain tapis yang bertingkat, disulam dengan benang sutera putih yang disebut Kain Tapis Inuh. Hiasan-hiasan yang terdapat pada kain tenun Lampung juga memiliki unsur-unsur yang sama dengan ragam hias di daerah lain. Hal ini terlihat dari unsur-unsur pengaruh taradisi Neolithikum yang memang banyak ditemukan di Indonesia. Masuknya agama Islam di Lampung, ternyata juga memperkaya perkembangan kerajinan tapis ini. Walaupun unsur baru tersebut telah berpengaruh, unsur lama tetap dipertahankan. Adanya komunikasi dan lalu lintas antar kepulauan Indonesia sangat memungkinkan penduduknya mengembangkan suatu jaringan maritim. Dunia kemaritiman atau disebut dengan jaman bahari sudah mulai berkembang sejak jaman kerajaan Hindu Indonesia dan mencapai kejayaan pada masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan islam antara tahun 1500 1700.
Bermula dari latar belakang sejarah ini, imajinasi dan kreasi seniman pencipta jelas mempengaruhi hasil ciptaan yang mengambil ide-ide pada kehidupan sehari-hari yang berlangsung disekitar lingkungan seniman dimana ia tinggal. Penggunaan transportasi pelayaran saat itu dan alam lingkungan laut telah memberi ide penggunaan motif hias pada kain kapal. Ragam motif kapal pada kain kapal menunjukkan adanya keragaman bentuk dan konstruksi kapal yang digunakan. Dalam perkembangannya, ternyata tidak semua suku Lampung menggunakan Tapis sebagai sarana perlengkapan hidup. Diketahui suku Lampung yang umum memproduksi dan mengembangkan tenun Tapis adalah suku Lampung yang beradat Pepadun.



Perkembangan 


Perjalanan sejarah perkembangan terbentuknya ragam hias, kain tapis Lampung mendapat berbagai pengaruh kebudayan lain, seiring dengan terjalinnya kontak, interaksi, dan komunikasi masyarakat adat Lampung dengan kebudayaan luar. Kebudayaan yang memberikan pengaruh pada pembentukan gaya seni hias kain tapis antara lain, kebudayan Dongson dari daratan Asia, Hindu-Budha, Islam, dan Eropa.
Melalui proses yang panjang, akulturasi terjadi antara unsur-unsur hias kebudayaan asing dengan unsur-unsur hias lama. Unsur-unsur asing yang datang tidak menghilangkan unsur-unsur lama, akan tetapi semakin memperkaya corak, ragam, dan gaya yang sudah ada. Berbagai kebudayaan tersebut terpadu dan terintegrasi dalam satu konsep utuh yang tidak dapat dipisahkan dan melahirkan corak baru yang unik dan khas.
Nilai estetis kain tapis menyatu dalam beberapa azas dan ketentuan, yaitu (1) azas kesatuan organis, (2) azas tema atau konsep, (3) azas keseimbangan, (4) azas bertingkat, (5) azas kerumitan, dan (6) azas kesungguhan.
Kain tapis bagi masyarakat adat Lampung memiliki makna simbolis sebagai lambang kesucian yang dapat melindungi pemakainya dari segala kotoran dari luar. Selain itu dalam pemakaiannya kain tapis juga melambangkan status sosial pemakainya. Makna simbolis kain tapis terdapat pada kesatuan utuh bentuk motif yang diterapkan, serta bidang warna kain dasar sebagai wujud kepercayaan yang melambangkan kebesaran Pencipta Alam. Kain tapis merupakan pakaian resmi masyarakat adat Lampung dalam berbagai upacara adat dan keagamaan, dan merupakan perangkat adat yang serupa pusaka keluarga.
Terkait dengan pemerintahan adat, masyarakat Lampung yang beradat Pepadun memakai sistem kepunyimbangan berdasarkan garis keturunan laki-laki (matrilineal). Pada masyarakat Lampung Pepadun tingkatan punyimbang ada tiga, yaitu: (1) punyimbang marga atau paksi yang membawahi tiyuh (kampung), (2) punyimbang tiyuh yang membawahi beberapa suku atau bilik, dan (3) punyimbang suku yang membawahi beberapa nuwow balak (rumah adat). Susunan masyarakat yang bertingkat-tingkat mengkondisikan adanya aturan yang mengatur pemakaian kain tapis sebagai busana adat yang menyesuaikan status sosialnya dalam  masyarakat. Aturan yang berlaku tersebut juga disertai hukuman atau sanksi adat (cepalo) bagi anggota masyarakat yang melanggarnya.
Dalam rentang perjalanannya, kain tapis tidak hanya menunjukkan suatu proses kontinum kelangsungannya, tetapi juga menampakkan terjadinya perubahan dan pengembangan dalam banyak aspek, seperti pada aspek fungsinya kain tapis berubah dari benda sacral yang terkait erat dengan adat dan kepercayaan masyarakat Lampung berubah menjadi benda profan dan sekuler yang berfungsi untuk komoditi pasar. Pada aspek produknya kain tapis tidak hanya berupa kain sarung adat, tetapi sudah mengalami modivikasi dan diversivikasi sehingga tercipta berbagai produk seni kerajinan kain tapis seperti, busana pesta, busana muslim, hiasan dinding, kaligrafi, partisi ruangan, perlengkapan kamar tidur, tas, dompet, kopiah, tempat tisu, dan sebagainya.
Pada aspek bentuk motif yang diterapkan tidak terjadi perubahan frontal, secara umum bentuk motifnya masih sama hanya terjadi perubahan seiring perubahan bentuk produk yang disertai pengembangan, modivikasi, variasi, penyederhanaan, dan sedikit penambahan. Perubahan signifikan terjadi pada penghilangan makna simbolis-filosofis yang terkandung di dalamnya. Motif kain tapis sekarang hanya dilihat dari aspek keindahannya semata.
Perubahan yang terjadi pada kain tapis Lampung terjadi seiring dengan perubahan masyarakat pendukungnya, seperti adanya interpretasi dan persepsi masyarakat Lampung terhadap kain tapis, keterbukaan masyarakat lampung terhadap berbagai inovasi, ide-ide, dan kreasi baru yang tercermin pada sifat dan watak nemui nyimah, dan nengah nyappur. Kecintaan, keinginan, dan sikap progresif para perajin kain tapis yang didukung bakat seni dan keterampilan teknik yang diturunkan generasi sebelumnya untuk melestarikan, mempertahankan, dan mengembangkan seni kerajinan kain tapis.
Faktor eksternal yang mendorong terjadinya perubahan seni kerajinan kain tapis Lampung, selain berkembangnya dunia pariwisata daerah Lampung adalah adanya lembaga atau institusi pemerintah maupun swasta di Lampung yang berusaha mengembangkan seni kerajinan kain tapis dengan melakukan berbagai usaha, seperti program pelatihan, penyuluhan, dan pembinaan untuk dapat meningkatkan kemampuan teknis, jiwa kewirausahaan, maupun manajemen usaha para perajin kain tapis. Pemerintah juga telah mengambil kebijakan penting dengan menciptakan lingkungan usaha yang kondusif dan memberikan kemudahan dalam bidang produksi, permodalan, distribusi, dan pemasaran.
Pembubaran lembaga adat Lampung (kepunyimbangan) oleh pemerintah juga ikut mendorong perubahan yang terjadi pada kain tapis. Dengan berubahnya struktur pemerintahan, maka lembaga dan organisasi sosial dalam masyarakat adat tidak lagi memiliki legitimasi. Lembaga adat (kepunyimbangan) yang berfungsi sebagai pagar sekaligus kontrol dalam rangka melindungi stabilitas atau equilibrium masyarakat tidak berfungsi lagi sebagaimana mestinya. Namun akan lebih baik seandainya keputusan pemerintah tentang penghapusan lembaga adat ditinjau kembali, karena adanya lembaga tersebut akan semakin memperkokoh eksistensi kain tapis Lampung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar